Saya
ingat jaman kuliah tahun 90-an, dimana handpone masih menjadi barang langka,
begitu pula dengan internet. Kondisi ini memaksa para mahasiswa termasuk saya
harus keluar masuk perpustakaan, tidak hanya di dalam kota, bahkan sampai
berburu literatur sampai ke Jakarta. Menempuh Semarang – Jakarta PP hanya untuk
mendapatkan beberapa paragraf kalimat penting untuk sumber pustaka. Bagi anak
jaman sekarang, mungkin susah membayangkan apa yang dilakukan orang tua mereka
di jaman berjuang kala itu. Di mana saat ini mendapatkan berlembar - lembar
bahkan mendapatkan puluhan buku (e-book) sekaligus bisa didapat dalam hitungan
menit, cukup bermodal koneksi internet dan gadjet. Beda jaman, beda perjuangan
dan tantangan.
Saya
justru prihatin dengan kondisi serba mudah saat ini, kondisi yang memanjakan
anak-anak, termasuk anak-anak saya, mau informasi dan tontonan apa saja dengan
mudah mereka tinggal akses ke internet, mau belajar cara menyelesaikan
permasalahan yang dia hadapi tidak lagi perlu berpikir, hanya tinggal
menggerakkan jarinya di touchscreen. Konon “pahlawan yang hebat hanya akan
dilahirkan dari pertempuran yang besar”. Anak-anak saya tidak perlu lagi
menghadapi pertempuran yang besar, peralatan perang mereka sangat lengkap, tak
perlu lagi membuat bambu runcing, membuat perangkap. Bagaimana mereka akan
menjadi pahlawan yang hebat kelak?
Membuat mainan sendiri
Lahir
dan besar di kampung, dengan kondisi ekonomi yang biasa-biasa saja, saya dan
anak-anak lainnya terpaksa harus kreatif untuk menciptakan dan membuat mainan
sendiri. Mungkin pembaca pernah mengalami, membuat mobil-mobilan dari kulit
jeruk, membuat senapan dari pelepah pisang, membuat senapan dari bambu, membuat
mainan dari tanah liat, dan banyak jenis mainan lain yang kami ciptakan dan
mainkan sendiri untuk mengisi dunia anak yang membahagiakan. Betapa senang dan
puasnya ketika mainan yang kita ciptakan bisa dimainkan dan jadi favorit
temen-temen yang lain.
Tidak
hanya mainan yang kami ciptakan, tapi permainan. Jaman saya kecil dulu sudah
barang tentu tidak ada Gamewacth, tidak ada PS, tidak ada Nitendo, dan belum
ada komputer dan Handphone. Semua mainan digital yang dikenal oleh anak-anak
kita saat ini, tidak ada di jaman saya kecil dulu, itulah anak-anak memiliki
permainan sendiri, di masing-masing daerah berbeda beda. Ada permain bentengan,
gobak sodor, ada main karet, main gundu, permainan benthik, engrang, ketapel, lompat
tali, perang-perangan dengan senapan buatan sendiri tadi, dan lain sebagainya.
Semua yang
kami lakukan di masa kecil menjadikan kami sebagai anak mandiri, kreatif
(terpaksa kreatif), mampi menemukan solusi untuk kebahagiaan kami sendiri.
Begitu
melihat anak-anak sekarang, termasuk melihat anak-anak saya, mungkin juga
terjadi pada semua anak di kota-kota besar, apa yang kita alami di masa kecil
tidak lagi bisa mereka alami. Mereka hidup di jaman serba instan, bahkan pada
saat membaca buku, mereka tidak lagi perlu berimajinasi lagi, karena semua
cerita sudah divisualkan dalam bentuk gambar. Konon melatih imajinasi akan
berperan penting dalam perkembangan kreativitas.
Saya bersyukur Bapak tidak membelikanku mainan
Saya merasa
bersyukur, karena kondisi memaksa saya menciptakan mainan sendiri, memaksa saya
untuk selalu berimajinasi saat membaca sebuah buku, tidak ada buku cerita
bergambar warna warni seperti modul sekolah anak-anak saya, tidak ada youtube
yang menceritakan segala hal tanpa perlu berimajinasi. Saya bersyukur karena
saya dan temen-temen dipaksa untuk mencari solusi untuk kebahagiaan kami
sendiri, sehingga sejak masa kanak-kanak kami sudah berlatih menghadapi
masalah.
Seandainya
saja orang tua saya kaya dan selalu bisa memenuhi keinginan saya untuk
dibelikan mainan, bisa jadi tingkat kreativitas saya tidak seperti saat ini.
Saya akan selalu memerlukan bantuan orang lain yang lebih kreatif untuk
menemukan ide-ide penjualan sebagai tutunan profesi.
Seandainya
saja saya dimanjakan oleh orang tua saya di masa kecil, mungkin saat ini saya menjadi
cengeng, mudah menyerah, selalu tergantung pada orang lain. Tapi kami ‘terlatih’
untuk selalu menemukan solusi atas masalah yang kami hadapi. Seandainya di masa
kecil saya sudah ada youtube, sudah barang tentu saya tidak akan bisa berimajinasi
dan menulis buku berlembar - lembar seperti ini.
Terimakasih
kepada Bapak dan Ibu yang tidak memanjakanku, terimakasih telah memaksa kami
membuat mainan sendiri, terimakasih telah berkesempatan menjalani masa
anak-anak di jaman ‘jadul’.
Kini,
saatnya kita sebagai orang tua, memikirkan agar anak-anak kita kelak menjadi
orang yang kreatif, mejadi orang yang tangguh, menjadi orang yang mampu
bersaing, memiliki semangat juang, semangat kompetisi, mengingat semakin waktu
kompetisi akan semakin berat, jauh lebih berat dibanding saat ini.
Apa
yang harus dilakukan?? Masing-masing punya cara, yang jelas kita
bertanggungjawab dalam membentuk karakter anak-anak kita.
Salam Smart Life
Joko Ristono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar