Bagi Anda yang tinggal di Jabodetabek pasti merasakan
perubahan yang luar biasa pada layanan angkutan masal kereta listrik ‘commuter
line”. Kurang lebih 6-7 tahun lalu, KRL (sekarang commuter) adalah salah satu
contoh potret buruk transportasi masal di Indonesia, khususnya di Jabodetabek.
Kecelakaan sering sekali terjadi, gangguan hampir setaip hari terjadi yang
membuat para penumpang tersiksa, gerbong ekonomi yang lebih layak disebut
dengan oven raksasa berjalan, penumpang berebut pijakan kaki dengan para
pedagang di dalam gerbong dan diperparah dengan jadwal kereta yang sering
ngacau. Para penumpang lebih memilih tidak membeli karcis, karena mahal,
mending bayar di atas cuma 1000 rupiah
Saat ini commuter sudah berani disejajarkan dengan
transportasi serupa di negara maju, khususnya dari sisi pelayanan. Para pekerja
dari luar jakarta lebih memilih menggunakan commuter untuk pulang pergi kantor dibandingkan
dengan menggunakan mobil pribadi. Selain lebih cepat, menggunakan commuter juga
lebih aman, murah tinggal duduk dan tidur.
Penolakan perubahan
dari internal
Alasan buruknya pelayanan KRL adalah karena kerugian
operasional yang besar, sehingga susah untuk meningkatkan pelayanan. Menambah
gerbong karena sudah over capacity ‘uang dari mana’, memberbaiki peron ‘untuk
operasional saja sudah minus’, memberbaiki kinerja pegawai melalui peningkatan
kesejahteraan ‘gak ada dana’, dan ini menjadi lingkaran setan.
Akar dari permasalahan adalah salah pengelolaan, ratusan
ribu penumpang yang tidak membeli tiket sehingga pihak KAI kurang pemasukan.
Terus kalau penumpang tidak bayar salah penumpang? Kalau pertanyaan itu
ditanyaan saat ini, tentu 100% salah KAI, buktinya saat ini 100% penumpang
membeli tiket.
Bayangkan apa yang terjadi pada petugas yang menerima
pembayaran tiket gelap di atas gerbong, saat KAI berencana melakukan
pembenahan. Kantong celana kiri kanan, kantong baju kiri kanan semua penuh
dengan uang ribuan. Dari hitungan saya tidak kurang dari 300 ribu sekali jalan.
Lah bayangkan kembali ketika sang petugas melakukan pemeriksaan sebanyak 10
perjalan sehari, what?? 3 juta sehari, dikali 20 hari kerja Rp 60 juta, woooww,
dan uang sebesar itu terancam akan hilang saat nantinya ditertibkan. (semoga data saya ini tidak valid, ngeri
juga yaa kalau bener)
Contoh kenyamanan seperti ini yang akan menjadi musuh
perubahan.
Tapi the show must
go on, terbukti pak Jonan – Dirut KAI (saat ini menteri perhubungan) bisa
membalik itu semua. Toilet kumuh yang berbayar, menjadi toilet bersih yang
gratis, antrian beli tiket yang mengular dirubah menjadi tiket elektronik yang
minim antrian, petugas tiket yang kewalahan menjaga penumpang nakan digantikan
dengan mesin yang lebih cepat.
Pada saat mesin tiket elektronik sudah dipasang, semua
orang meragukannya, termasuk saya. Mesin tersebut seolah mangkrak setelah
dipasang 2 tahun yang lalu, dan saya juga mulai meyakini bahwa benar saja
proyek penertipan tiket adalah perkerjaan yang tidak masuk akal. Meskipun pada
akhirnya saya yang salah, begitu juga banyak orang salah yang awalnya
meragukannya.
Kalau mau berubah, ya
pasti bisa
Perubahan besar di KRL bisa menjadi contoh, bagaimana perubahan
sedikit dengan penertipan tiket penumpang ini, bisa membalik BUMN yang merugi
triliunan setahun ini bisa mendapatkan keuntungan 800 milyar di tahun pertama,
wooww...
Begitu halnya dengan kepemimpinan Ahok sebagai gubernur
DKI jakarta yang mampu melakukan perubahan besar pada hal yang dulunya dianggap
tidak mungkin.
Artis yang berubah profesi menjadi ustad juga banyak
terjadi.
Mari kita kembalikan pada diri kita masing-masing, untuk
berubah. Konon, tidak ada yang abadi di dunia ini, satu-satunya yang abadi
adalah perubahan itu sendiri. Sampai-sampai ada sebuah buku motivasi berjudul
“berubah atau mati”. Yaa, saya setuju, bukankah agama juga mengajarkan, bahwa
manusia harus lebih baik dari kemarin, kalau tidak maka akan celaka.
Salam Perubahan
Salam Smart Life
Joko Ristono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar