Hidup harus berkembang, hidup harus lebih baik dari hari
ke hari, hidup harus bermanfaat untuk sebanyak mungkin orang dan lingkungan. Tentu
tidak semata-mata kita bisa memberikan manfaat bagi banyak orang, tidak mudah
menjadi orang yang berguna, tidak selalu bisa menerapkan yang kita miliki untuk
kebaikan orang lain.
Berguna bagi orang lain terlebih dahulu harus dimulai
dari pengembangan diri, sehingga memiliki pribadi yang memiliki wawasan luas,
memiliki ketrampilan, memiliki soft skill dan attitude untuk bisa berbagi.
Pagi ini saya disadarkan oleh guru kehidupan saya, orang
yang selama puluhan tahun selalu memberikan inspirasi, memberikan wejangan, memberikan
masukan dan menanamkan nilai-nilai hidup “agar bisa berguna bagi orang lain,
saat ini dan selamanya”.
Saya diminta membaca kisah Sumantri ngenger dan
kokrosono. Saya paham maksudnya kenapa saya harus membaca buku tersebut, dan
langsung saja saya mencari e-book nya di internet, karena kalau ke toko buku
mesti mandi dulu, cuci mobil dulu dan belum tentu nemu buku tersebut.
Alhamdulillah, saya baca secara cepat dan mendapatkan
saripatinya:
Kisah Sumantri Ngenger
Apa sebetulnya Ngenger itu? Ngenger adalah
upaya seseorang yang ingin berguru kepada seorang guru yang diyakininya akan
membuatnya tercapai segala kemuliaan hidupnya.
Pada pagi yang belum sempurna, ia melangkah ke utara. Ia
tinggalkan Sukrosono, adiknya yang bocah bajang yang buruk rupa, keriting,
cebol, dan agak hitam itu. Dengan penampilan fisik semacam itu, mungkin
Sumantri merasa adiknya hanya akan menjadi perintang. Meski ia tahu, kesaktian
Sukrosono satu tingkat di atasnya. ”Aku sengaja pergi pagi-pagi benar pada saat
kau masih lelap. Maafkan aku, adikku,” kata Sumantri pada hari kepergiannya.
Sebagai batu ujian, sumantri diuji oleh sang calon majikan, prabu Harjunosasra, ia ditugaskan melamar Dewi Citrawati,
putri negara Magada yang waktu itu menjadi rebutan/lamaran raja-raja dari
seribu negara. Sumantri
memang laki-laki pilihan dewa. Dalam suatu pertempuran, ia berhasil membebaskan
Negeri Magada dari kepungan pasukan Widarba. Ia menang telak, pasukannya membawa banyak tawanan dan rampasan;
emas-berlian, ternak, dan para putri. Tapi Sumantri tak segera pulang. Di
perbatasan, ia justru mengirim surat ke Maespati dan menantang Harjuna
Sasrabahu perang tanding. Ada kesombongan yang tiba-tiba melonjak. Juga
ketidakpercayaan akan kekuatan dan kesaktian sang raja. Singkat cerita, Sumantri berhasil memboyong Dewi Citrawati.
Tapi sebelum menyerahkan kepada
Prabu Arjunasasra, ia lebih dulu ingin menguji kemampuan dan kesaktian Prabu
Arjunasasra sesuai dengan cita-citanya ingin mengabdi pada raja yang dapat mengungguli
kesaktiannya. Dalam perang tanding, Sumantri dapat dikalahkan Prabu Arjunasasra
yang bertiwikrama.
Atas
sikap sumantri ini, ada dua tafsir tentang, Pertama, Sumantri sekadar ingin lebih meyakinkan diri
tentang kepatutan raja yang ia abdi. Kedua, ia tengah mabuk kemenangan. Apa pun
alasannya, Sumantri akhirnya kalah melawan prabu Harjuna Sasrabahu, dan ia menerima
hukumannya: untuk memindahkan Taman Sriwedari dari khayangan ke istana. Hukuman
tersebut sekaligus sebagai syarat agar sumantri bisa ngenger kepada Prabu Harjunasasra. Prabu Harjuna menyetujui Sumantri akan menjalani Ngenger ini, namun ada syarat dari Prabu Harjuna yang harus dipenuhi oleh Sumantri, yaitu memindahkan Taman Sriwedari ke tamannya.
Betapa berat persyaratan ini. Taman
sriwedari adalah taman indah yang ada di Kahyangan Untarasegara, maka wajarlah
bila Prabu Harjunasasra ingin mempersembahkan taman tersbeut untuk para istrinya.
Dalam
cerita pewayangan, dan dalam kehidupan nyata saat ini, begitulah adanya, selalu
ada harga yang harus dibayar. Begitulah cara
seseorang kasatriya untuk mencapai kemuliaan hidup. Menuntut ilmu kepada kesatriya yang memiliki derajat ilmu lebih tinggi
darinya, untuk menambah ilmu yang dimilikinya saat ini. Dan ngenger adalah cara
yang tepat, tinggal bersama, mengamati kehidupan sehari-hari, menunjukkan
bakti, kesabaran, sedikit demi sedikit dan dalam jangka waktu yang panjang.
Sumantri
masih galau dengan syarat berat yang diajukan oleh Prabu Harjunasasra agar dirinya
bisa ngenger! Dia berpikir untuk membatalkan niatnya karena seolah tidak
mungkin memindahkan taman Sriwedari yang besar dan Indah itu, bagai mana
caranya? Kalau saya bisa memindahkannya, sudah tentu saya adalah orang sakti
yangtidak perlu Ngenger lagi! Galau, Galau Galau… !
Dalam Ngenger ini, kasatriya yang menuntut ilmu
itu tinggal dirumah gurunya tersebut agar mendapat ilmu tidak hanya ilmu
secara langsung dari sang guru, tapi belajar pula dari segala tingkah laku sehari-hari yang dilakukan gurunya
itu. Raden Sumantri akan melakukan hal saya selama
menjalani Ngenger. Prabu Harjunasasra yang
dinilai sakti mandraguno dan sangat ideal menurut Sumantri. Maka begitu
besar niat Sumantri untuk berguru dengan
cara Ngenger seperti itu kepada Prabu Harjunasasra.
Dalam
dunia saat ini, belajar S1, S2, S3 ada pengorbanan dan biaya mahal yang harus
dibayar, belajar langsung dengan cara “ngenger” pada perusahaan yang dinilai
akan memberikan banyak ilmu, ada harga yang harus dibayar. Ada syarat berat
yang harus disiapkan terlebih dahulu, pengorbanan waktu, pengorbanan.
Cinta Kokrosono pada Kakak
Sumantri sangat bersedih memikirkan persyaratan,
betapa
beratnya syarat yang dipasang Harjuno untuknya membuat dia bersedih, apakah
Taman Sriwedari yang indah itu bisa dipindah ke taman istana ini? Dalam
kesedihannya ini Sumantri didekati adiknya Kokrosono, adik Sumantri ini buruk
rupa namun sayangnya dengan Sumantri amat sangat besarnya. Maka ketika sang Kakak bersedih hati dia pun
tidak bisa tinggal diam untuk membiarkan kakaknya sedih berkepanjangan.
Kokrosono bertanya pada kakaknya dan Sumantri juga
menceritakan apa yang menjadi kesedihan hatinya. Sang Adik, Kokrosono yang buruk rupa itu ternyata sanggup membantu
persyaratan itu. Dia memiliki banyak teman-teman makhluk halus yang sudah barang tentu dengan mudah
bisa membantu memindahkan taman Sriwedari yang membuat kakak kesayangannya
bersedih. Dan persyaratan
yang maha berat itupun bisa dilaksanakan, taman sriwedari itu bisa berpindah ke
istana Prabu Harjunasasra dan dipersembahkan untuk putri-putri kerajaan
Malapetaka menimpa Kokrosono
Para Putri sangat takjub akan keindahan taman
sriwedari yang berhasil dipindahkan oleh Sumantri (melalui bantuan adiknya),
para puteri menjadi sangat senang karena Taman
Sriwedari sudah ada. Mereka bermain-main ditaman. Kokrosono yang
telah berhasil memindahkan tamanpun ingin pula bermain
melihat semua itu. Namun hal ini menjadi awal malapetakan
yang akan menimpanya.
Sayang,
kehadiran Sukrosono yang buruk rupa membuat kekacauan para penghuni keputren
yang sedang menyaksikan keindahan taman Sriwedari. Sumantri malu dan meminta
adiknya segera pergi. Tapi Sukrosono menolak. Hingga akhirnya Sumantri
membidikkan anak panah ke arahnya. Dia menakuti
adiknya dengan pura-pura mau memanah agar adiknya keluar dari taman Sriwedari,
begitu maksudnya. Tanpa diduga anak panah lepas.
Sumantri kaget, tapi terlambat. Adiknya tewas terkena panahnya.
Sumantri bersedih yang kedua kalinya. Ngenger-nya
berbayar mahal sekali harus mengorbankan adiknya yang telah
membantunya mewujudkan harapannya untuk bisa
ngenger dan adik
yang sangat dicintainya harus gugur
ditangannya
Pelajaran
Pelajaran yang dipetik dari cerita ini adalah memang
dalam menuntut ilmu itu banyak sekali kesulitannya namun dalam menaklukkan
kesulitan itu harus hati-hati, jangan sampai dalam mengatasi kesulitan itu
bertindak ceroboh, seperti Sumantri yang mempunyai cara memakai anak panah
untuk menyuruh adiknya pergi dari taman Sriwedari itu tentunya adalah hal yang
tidak benar.
Sumantri bisa saja berkata baik-baik pada adiknya agar
pergi saja karena putri-putri takut atau mengakui saja bahwa itu adiknya yang
baik yang telah menolong untuk memindahkan taman Sriwedari itu. Mungkin para putri
itu akan lebih menghormati Kokrosono meskipun buruk rupa tetapi mempunyai jasa
yang besar.
Itulah hidup. Namun nasi telah menjadi bubur, kisah
tinggallah kisah namun pelajaran ini akan diingat dan dipelajari semua yang mau
belajar kehidupan
Manusia macam apakah
Sumantri? Dalam Tripama, sebagai patih Suwondo ia disebutkan memiliki tiga
kelebihan; pandai, selalu menyelesaikan pekerjaannya, dan jika perlu
mempertaruhkan nyawa. Tapi serat itu juga menyimpan satu pertanyaan penting;
apakah Sumantri memiliki hati nurani? Itulah masalahnya. Dan tak hanya dalam
jagad pewayangan, di dunia yang real sekarang ini, dalam dunia kerja, dalam dunia bisnis, Sumantri berkeliaran. Ia mengambil manfaat
pada saat membutuhkan, kemudian mencampakkan ketika mulai merasa jijik.
Salam Smart Life
Joko Ristono