Daripada sepi blog saya.. karena sudah lama gak sempet tulis artikel..
Kali ini saya copy paste artikel yang keren tentang salah satu kandidat presiden kita "bapak Jokowo". Karena saya sangat setuju dengan tulisan ini, bukan karena saya pendukung Pak Jokowi, tapi cerita yang merupakan kisah nyata, bukan cerita mereka-reka,,,!
sumber: Polimoli.com
Saya
menuliskan ini dengan kesadaran penuh, dan betul judul di atas tidak salah.
Jokowi tidak hebat.
Jokowi tidak hebat.
Iya hanya menjalankan tugas sesuai sumpah
jabatannya, mengerjakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya, melayani
rakyatnya memastikan proyek-proyek berjalan sebagaimana mestinya. Begitu kan
seharusnya Gubernur bekerja?
Jokowi tidak hebat.
Ketika dalam sebuah acara, Jokowi
mempresentasikan pekerjaannya dihadapan para menteri dan tokoh masyarakat
Jakarta ,kebetulan saya juga datang dan menyaksikan langsung, tentang
program-program DKI yang sedang berjalan. Salah satu bagiannya adalah tentang
slump area (wilayah kumuh). Ada 9.000 lebih titik slump area, dan ketika
memaparkan hal itu, suara Jokowi bergetar hampir menangis, “Anda gak usah
jauh-jauh dari Sudirman Thamrin, jalan saja ke utara sedikit, ke Penjaringan.
Ada rumah berukuran 3x 4 meter dihuni 6 orang.Bayangkan bagaiman mereka
menjalani hidupnya, ada anak orangtua remaja jadi satu. Kalau anda melihat
langsung dan tidak menangis, anda kebangetan. Saya memang memprioritaskan
pembenahan slump area, karena di situ ada ribuan nyawa manusia yang hidupnya
jauh dari layak sebagai manusia” Getaran suaranya membuat semua terdiam dan
hening beberapa saat. Jokowi nyaris menangis, dia manusia biasa.
Jokowi tidak hebat.
Saya punya kesempatan bertemu
langsung dengan Jokowi 3 kali, dalam 2 pertemuan tidak ada wartawan dan itu
sebuah acara biasa saja. Jokowi datang tepat waktu seperti yang disampaikan.
Acara itu hanya acara komunitas, kecil dan gak ada wartawan atau media yang
meliput. Jokowi tiba sesuai seperti yang dijanjikan, tidak terlambat.
Begitu datang, Jokowi duduk lesehan di sebelah saya, ketika diminta ke depan,
dia bilang, “Sudah-sudah saya di sini saja. Itu dengarkan tuan rumah mau
bicara di depan.” Dan kemudian Jokowi ikut duduk bersama kami semua di
bawah lesehan mendengarkan yang sedang bicara di depan. Usai bicara Jokowi
tidak langsung pergi, tapi ikut duduk mengikuti acara hingga selesai. Memang
sudah seharusnya kita datang tepat waktu, menghormati tuan rumah, tidak
bicara sendiri ketika ada yang bicara di depan, bukan?
Jokowi tidak hebat.
“Pak,
saya mau foto bareng, boleh?” begitu permintaan saya usai acara. Jokowi
langsung jawab dengan ramah, “Ayo silakan-silakan, mbak siapa namanya?”. Jokowi
menyalami saya sambil menatap langsung ke mata saya. Saya pernah bekerja dengan
orang penting di negeri ini, bertemu dengan pejabat, tokoh masyarakat juga
artis dan seringkali pengin foto bareng. Hampir jarang kalau tidak bisa
dikatakan tidak pernah, saya ditanya namanya sebelum foto bareng. Hal kecil,
tetapi saya bangga luar biasa ditanya namanya sama Jokowi. Selesai acara
tercenung, bukankah kalau kita bersapaan apalagi foto bareng lazimnya
menanyakan nama bukan? Apa hebatnya ditanya nama? Tapi ini Gubernur DKI yang
bertanya.
Jokowi tidak hebat.
Kita
sudah terlalu lama melihat bagaimana pejabat ( penguasa) sebagai sebuah simbol
dan seremonial belaka. Mereka adalah orang-orang istimewa yang harus dihormati,
dilayani dinomorsatukan. Datang paling belakang, atau datang hanya saat
waktunya bicara dan langsung pergi tanpa mendengarkan pembicara lainnya. Kita
terbiasa dengan pejabat (penguasa) yang kita tidak tahu pekerjaannya apa, kita
terima saja dengan apatis sambil bilang, “Ya pejabat emang kayak gitu.” Sebuah
permakluman yang menahun sehingga dianggap wajar atau seharusnya memang begitu.
Kita
sudah terlalu lama tidak melihat pejabat (penguasa) bekerja nyata serta bisa
kita rasakan. Mereka hanya melihat dari laporan para bawahannya tidak terjun
langsung ke lapangan. Kita hampir jarang melihat ada gubernur malam-malam
menunggu pekerjaan pengerukan sungai kala hujan deras demi memastikan pekerjaan
dilaksanakan dengan baik sehingga mengurangi dampak banjir. Kita hampir jarang
melihat, pejabat (penguasa) datang ke daerah kumuh melihat langsung rumah
tinggal warganya dan menanyakan apa yang mereka butuhkan sambil menawarkan
tempat yang lebih layak. Kalian harus menyaksikan proses pemindahan warga waduk
Rairio dan bagaimana Jokowi memperlakukan warga miskin itu.
Pencitraan?
2 dari
3 acara Jokowi yang saya datangi tidak ada media sama sekali, sedangkan yang
satu penuh dengan wartawan. Apa yang disampaikan, gaya, dan perilakunya sama
persis. Tidak ada bedanya. Saya pernah bertanya sama salah satu petinggi media,
kenapa berita Jokowi begitu banyak apakah memang Jokowi meminta diliput terus
menerus? Pertanyaan itu saya lontarkan jauh sebelum Jokowi dicalonkan jadi
RI-1.
Ini jawaban petinggi media
itu, “Kalau kalian punya berita yang bisa mengalahkan news value nya Jokowi,
boleh saya kirim wartawan ke sana saat ini juga. Apapun tentang Jokowi selalu
menarik pembaca, belum pernah ada pejabat demikian tinggi news value nya. Media
kan juga mengejar news value di samping berita-berita yang memang layak kita
sajikan untuk pembaca. Gila itu orang kerjanya. Wartawan saya saja sampai
kewalahan dan kami berlakukan sistem shift untuk memantau Jokowi. Itu pun gak
semua keliput. Apa Jokowi kuat bayar media saya?”
Saya beruntung 3 kali bertemu langsung dengan
Jokowi, mendengarkan pemaparan tentang tugas dan tanggung jawabnya, program apa
yang sedang dikerjakan, bagaimana mengerjakan serta biayanya dari mana dengan
runut, jelas dan mudah dipahami. Saya melihat kesederhanaannya dan ketulusannya
bekerja. Saya tahu dia bukan manusia sempurna, atau pemimpin hebat yang akan
menyelesaikan semua masalah. Apalagi masalah Indonesia yang sedemikian rumit
dan kompleks.
Saya
tidak menaruh harapan tinggi terhadap Jokowi. Hampir 10 tahun saya bekerja
dengan orang nomer satu di negeri ini, bisa melihat betapa kusut dan karut
marutnya negeri ini, hampir semua sektor punya masalah yang tidak sedikit.
Belum perilaku para pejabat yang membuat negeri ini makin suram kelihatannya.
Saya sudah mulai apatis akan ada perubahan di negeri ini, hingga kemudian
datang pejabat bernama Jokowi.
Jalan pikiran saya sederhana saja, saya
mau pemimpin yang bekerja, dan melayani kebutuhan rakyatnya. Melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya dan tidak berlaku sebagai penguasa. Dan saya melihat itu
pada Jokowi, sosok manusia biasa, yang tidak bisa menahan tangis – layaknya
manusia- ketika melihat kemiskinan di depan mata.
Ya,
saya butuh pemimpin yang memanusiakan manusia.
Salam SmartLife
Joko Ristono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar