Salah satu
faktor utama yang membuat kita gagal meraih kesuksesan sejati adalah hancurnya
Integritas. Padahal integritas inilah yang menjadi syarat utama dan pertama
yang akan mengantarkan kita meraih kesuksesan sejati.
Nilai seseorang maupun masyarakat ditemtukan oleh integritasnya. Semakin tinggi
integritas yang dimilikinya, akan semakin tinggi nilainya dihadapan Tuhan
maupun manusia. Sebaliknya, semakin rendah integritas seseorang atau suatu
bangsa semakin merosot pula nilainya dihadapan Tuhan maupun manusia. Nilai
inilah yang dalam kehidupan sosial sering disebut sebagai martabat. Maka
seberapa tinggi martabat kita tergantung seberapa tinggi tingkat integritas
kita masing-masing. Karenanya, tidak ada cara lain untuk menjaga martabat
kecuali dengan memelihara integritas.
Disisi lain, Integritas merupakan tuntutan fitrah, menjaga integritas berarti
menjadikan hidup kita selaras dan sesuai dengan fitrah insaniah. Tidak ada
kontradiksi antara pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan. Semuanya selaras
dan sejalan. Buahnya, hidup akan terasa tenang dan tenteram, jauh dari rasa
galau dan gelisah.
Integritas juga sesuai dengan hukum alam semesta. Tuhan menciptakan alam raya
dengan benar. Tidak ada kekeliruan atau kesalahan sedikitpun. Lihatlah
bagaimana matahari dan bulan beredar sesuai dengan orbitnya secara konsisten. Perhatikan
bagaimana air selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih
rendah. Udara bergerak dari daerah yang padat ke area yang renggang. Semua berjalan
sesuai dengan sunnah yang ditetapkanNya.
Maka berbuat benar dan bersikap jujur berarti memperoleh dukungan dari semua
makhluk Tuhan. Karenanya orang yang punya integritas akan hidup dalam
keselarasan dan harmoni dan jauh dari kontradiksi. Buahnya, hidup menjadi indah
dan penuh kebahagiaan.
Dalam hidup keseharian, termasuk dalam dunia kerja dan bisnis, integritas
merupakan faktor utama yang menentukan relasi antar manusia. Integritas akan
melahirkan kepercayaan, sedangkan kepercayaan adalah faktor utama dalam hidup,
termasuk dalam dunia kerja dan bisnis. Tidak akan ada transaksi bisnis apapun
tanpa adanya kepercayaan. MOU, kontrak kerja, faktur, kwitansi dan sejenisnya
hanyalah sekedar perangkat administrasi belaka. Semua itu baru bermakna bila
ada kepercayaan diantara pihak-pihak yang bertransaksi.
Berbisnis dan bekerja tanpa kejujuran dan integritas sama artinya dengan
menggali kuburan sendiri. Mendapat untung sesaat, setelah itu mati. Cepat atau
lambat, bisnis seperti itu pasti akan hancur. Karena itu, kejujuran dan
integritas harus menjadi sifat dan karakter utama para profesional dan
pebisnis, karena hanya dengan itu ia bisa meraih kepercayaan dari orang lain,
yang pada gilirannya akan menghasilkan keuntungan dan manfaat dan akhirnya
kesuksesan sejati akan menjadi miliknya.
FAKTOR PEMBENTUK INTEGRITAS
Kejujuran dan Integritas bukanlah sesuatu yang kita dapatkan begitu saja secara
otomatis (Taken for Granted),
melainkan sesuatu yang harus diupayakan dengan sungguh-sungguh dan hanya bisa
dicapai dengan memenuhi syarat-syarat tertentu. Ada beberapa faktor yang
membentuk kejujuran dan integritas.
Beberapa faktor tersebut adalah :
1. Niat yang lurus
2. Berpikir jernih
3. Bicara benar
4. Sikap terpuji
5. Keteladanan
Dalam kesempatan ini saya akan mencoba menguraikan salah satu faktor yang
membentuk kejujuran dan integritas, untuk kemudian di sesi berikutnya akan saya
sajikan uraian faktor berikutnya secara berurut.
1. Niat yang Lurus/Tulus
Kejujuran dan integritas harus dimulai dari niat yang lurus dan tulus. Niat
memang bukanlah segala-galanya, sebab tak ada karya dan prestasi besar hanya
dengan bermodal niat semata. Prestasi besar dan karya hebat hanya bisa diraih
jika niat itu diwujudkan dalam aksi nyata.
Namun niat adalah dasar dari segala-galanya. Tidak akan ada karya dan prestasi
apapun tanpa didahului dengan niat. Bahkan niat itulah yang menjadi ukuran
bernilai atau tidaknya amal seseorang. Perbuatan yang sama akan menghasilkan
nilai yang berbeda di sisi tuhan lantaran niat yang berbeda.
Dalam hidup keseharian kita, Nilai pekerjaan kita tergantung dari niat
(motivasi) yang melandasinya. Seseorang yang bekerja dengan baik karena
mengharapkan pujian dari atasannya dan mendapatkan kenaikan jabatan, boleh jadi
akan mendapatkan apa yang diinginkannya. Atasannya senang dan ia mendapatkan
kenaikan pangkat. Tapi ia tidak akan mendapatkan apa-apa di sisi Tuhan.
Namun jika respon dari sang atasan tidak seperti yang diharapkannya, ia akan
merasa kecewa dan tak lagi merasa perlu bekerja dengan baik. Bahkan bukan
mustahil akan menjadi trouble maker
yang menghambat kinerja perusahaan. Ia bukan menjadi pembawa beban, tapi
malahan jadi beban, bahkan menciptakan beban-beban baru.
Berbeda halnya dengan orang yang bekerja sungguh-sungguh dengan ikhlas karena
Tuhan. Baginya bekerja adalah ibadah. Karenanya ia akan berusaha keras
melakukannya dengan sebaik-baiknya. Ia faham benar, semakin baik dan
berkualitas ibadahnya, akan semakin tinggi ganjaran/pahala yang diterimanya di
sisi Tuhan. Ia bekerja dengan baik karena Tuhan memerintahkan setiap orang yang
beriman bekerja dengan baik. Ia berdisiplin lantaran Tuhan menyuruh hidup
berdisiplin. Ia suka membantu dan menolong orang lain sebab Tuhan memang mengharuskan
hamba-hamba-Nya untuk tolong-menolong.
Ia akan terus bekerja dengan baik apapun respon yang diterimanya dari orang
sekitarnya. Jika atasan merespon dengan positif lalu menaikkan jabatannya, hal
itu dinilainya sebagai nikmat tambahan dari Tuhan. Dan ia akan menjadikan
jabatan dan rizki yang diterima sebagai sarana untuk meningkatkan kinerjanya.
Namun jika sang atasan ternyata cuek dan menganggap sepi kinerja yang
dihasilkannya, ia tidak akan kecewa dan putus asa. Ia akan terus saja bekerja
dengan baik. Ia tahu Tuhan maha melihat apa yang dikerjakannya, dan tidak akan
pernah lalai mencatat amal shaleh yang dilakukan hambaNya. Sedangkan sikap sang
atasan diserahkannya kepada Tuhan. Ia yakin dan percaya Tuhan akan memberikan
balasan setimpal kepada mereka yang tidak berbuat adil.
Niat adalah urusan hati. Maka untuk menjaga agar niat kita ikhlas, tidak ada
cara lain kecuali menjaga hati tetap bersih. Caranya buang jauh-jauh
sifat-sifat dan perilaku yang merusak kebersihan hati.
Setidaknya ada tiga penyakit hati yang amat berbahaya. Yang pertama adalah takabur
(sombong). Penyakit takabur berasal dari perasaan "lebih". Lebih
pintar, lebih hebat, lebih kaya, lebih terhormat, lebih tinggi jabatan, dan
seterusnya. Padahal tidak ada setitik debu pun hak manusia untuk sombong dan
merasa lebih.
Semua berasal dari nenek moyang yang sama, yakni Adam dan Hawa. Semua kita juga
berasal dari bahan baku yang sama, yakni pertemuan spermatozoa dengan sel telur.
Ketika lahir ke dunia, semua kita dalam kondisi yang sama yakni bodoh, lemah
dan tidak punya apa-apa. Kita bodoh lantaran tidak tahu apa-apa, termasuk diri
sendiri maupun orangtua. Yang kita tahu hanya menangis. Kita menjadi pintar dan
berilmu, lantaran Tuhan berkenan memberikan ilmuNya kepada kita.
Kita lemah karena tak mampu berbuat apa-apa. Termasuk mengurus dan menolong
diri sendiri. Makan, minum, buang air, membersihkan diri, semuanya ditolong
oleh orang lain. Kita menjadi kuat lantaran Tuhan mengaruniai kita udara yang
bersih, makanan dan minuman yang lezat dan bergizi tinggi, seperti ASI, daging,
air dan sebagainya. Dengan itu Tuhan menjadikan kita sehat dan kuat, karena DIA
Maha Gagah dan Maha Kuat.
Kita miskin, sebab setiap kita lahir dalam keadaan telanjang tanpa punya
sehelai benangpun. Apalagi yang lebih dari itu. Kita jadi berpunya dan kaya
lantaran Tuhan menganugerahkan rezeki yang berlimpah. Bukankah Tuhan
satu-satunya yang Maha Pemberi Rezeki.
Tuhan amat murka kepada orang yang sombong dan takabur. Ingatlah kisah
terusirnya iblis dari surga lantaran sombong dan takabur. Ia menolak perintah
Tuhan menghormat Adam. Iblis merasa lebih mulia lantaran ia diciptakan dari api
yang menyala, sedangkan Adam diciptakan dari tanah lempung yang hitam. Iblis
juga merasa lebih senior karena diciptakan lebih dulu dari Adam. Pendeknya,
kesombongan iblis bermula dari perasaan "lebih".
Dalam konteks kerja, sikap sombong dan merasa "lebih" akan menjauhkan
orang dari sisi kita. Orang tidak ingin berteman, karena selalu merasa
dilecehkan dan direndahkan. Padahal setiap orang ingin dihargai dan dihormati,
dan tidak suka dilecehkan dan direndahkan.
Penyakit hati kedu yang amat berbahaya adalah iri hati dan dengki. Membiarkan
penyakit iri hati dan dengki bersemayam dalam hati, sama artinya dengan
menghancurkan diri sendiri. Di dunia hidup menjadi resah dan gelisah, sedangkan
di akhirat mendapat azab yang amat pedih. Karena itu cegah penyakit iri dan
dengki dengan selalu mengikhlaskan niat hanya untuk Tuhan semata, dengan begitu
kita akan tetap bahagia dalam situasi dan kondisi apapun.
Jika mendapat nikmat dan sesuatu yang menyenangkan kita bersyukur. Caranya
dengan menggunakan nikmat yang kita terima itu untuk menambah amal shaleh dan
kebajikan. Namun jika kenyataan tak seperti yang kita harapkan, kita bersabar,
karena dibaliknya pasti terdapat sejumlah kebaikan. Syukur dan sabar adalah
kunci untuk sukses menjalani hidup, termasuk dalam dunia kerja.
Penyakit yang ketiga adalah riya (ingin dilihat dan dipuji orang). Penyakit ini
akan membuat orang yang mengidapnya selalu dalam kelelahan dan kerisauan. Lelah
karena hidupnya hanya untuk mendapat pujian orang, padahal jumlah manusia
demikian banyak dengan berbagai orientasinya masing-masing. Risau karena
faktanya tidak semua orang mau memujinya, malah mungkin mengejeknya.
Dalam hidup keseharian, riya juga membuat orang lain sebal. Sebab, ketika
seseorang ingin dipuji, pada saat yang sama sebenarnya ia merendahkan orang
lain, sedangkan setiap orang tidak ingin direndahkan.
2. Berpikir Jernih.
Upaya membangun dan mempertahankan kejujuran dan Integritas tidak cukup hanya
sekedar bermodal hati yang bersih. Niat yang lurus adalah titik awal yang harus
dilanjutkan dengan selalu bepikir jernih. Hati yang bersih harus terefleksikan
dalam pikiran yang jernih. Hal ini penting, karena dalam realitas kehidupan
termasuk dalam bekerja dan berbisnis, kita dihadapkan pada berbagai persoalan
yang menuntut analisis yang cermat dan pemecahan yang cepat dan tepat. Dan hal
itu hanya akan terjadi jika kita selalu berpikir jernih.
Pikiran yang jernih akan melahirkan gagasan yang brillian dan membimbing kita
bekerja dengan benar. Gagasan brlillian amat diperlukan untuk memenangkan
persaingan bisnis. Perubahan yang begitu cepat menuntut setiap profesional dan
pelaku bisnis menghasilkan ide-ide dan kreasi baru yang dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat.
Pikiran yang jernih akan membuat kita dapat bekerja dengan benar. Kita bisa
memahami mana yang benar dan mana yang salah, sehingga kita terhindar dari
kesalahan. Jika kita terlanjur berbuat salah atau keliru, tidak akan terulang
yang kedua kali.
Pikiran yang jernih juga akan membuat kita faham yang hakekat dan yang bentuk
luar/relatif. Dengan begitu, kita faham benar mana yang harus dikejar dan yang
hanya sekedar ada. Kita tidak terjebak dengan tampilan luar yang menipu. Salah
satu yang kerap menyebabkan manusia salah jalan dan menyesal adalah karena
terpesona oleh bentuk luar.
Pikiran yang jernih menjadikan kita mengerti mana yang prinsip dan mana yang
teknis, yang mutlak dan yang relatif dan seterusnya. Dengan demikian kita tidak
terjebak pada persoalan-persoalan kecil dan teknis dengan mengabaikan hal-hal
yang prinsip dan mendasar. Dengan kata lain pikiran yang jernih akan
mengantarkan kita mampu bertindak efektif, efisien, dan menempatkan sesuatu
sesuai dengan prioritasnya masing-masing.
Salah satu penyebab kegagalan, termasuk dalam bekerja dan berbisnis adalah
lantaran sibuk mengurusi hal-hal yang teknis, tetapi lupa kepada akar
permasalahannya. Misalnya, kerap terjadi orang mengeluhkan minimnya sarana dan
kurangnya fasilitas sebagai penyebab ketidakmampuannya menghasilkan kinerja
terbaik. Padahal akar masalahnya adalah kurangnya etos kerja dan lemahnya
kompetensi.
Pikiran yang jernih akan mendorong kita selalu persangka baik ( Husnuzh Zhan) dan berpikir positif.
Kita akan sibuk mengevaluasi kekurangan diri dan kemudian berusaha
memperbaikinya, ketimbang lelah mencari-cari kekurangan orang lain. Buahnya,
hidup kita akan semakin produktif dan berkualitas.
Bersangka baik dan berpikir positif juga akan membuat kita mampu berpikir
tenang dan jauh dari sikap emosional. Buahnya kita mampu menganalisa persoalan
dengan akurat dan mendalam dan mengambil keputusan dengan tepat dan benar.
Dengan kata lain, dengan berpikir jernih kita akan selalu menjadi problem solver bukan trouble
maker.
Tuhan menyuruh kita berpikir jernih, agar kita mampu menangkap hakekat dibalik
apa yang nampak secara kasat mata, mengambil hikmah dibalik kejadian dan
melihat jauh ke depan. Dengan demikian ia akan selalu optimis memandang masa
depan.
Allah SWT berfirman ; "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan
pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang mau berpikir.
Yaitu orang-orang yang selalu mengingat Allah baik dalam keadaan berdiri, duduk
ataupun berbaring dan senantiasa berpikir rahasia dibalik penciptaan langit dan
bumi. Mereka berkata: Ya Tuhan kami tidaklah engkau ciptakan semua ini dengan
sia-sia, maka jauhkanlah kami dari azab neraka" (QS Ali Imran/3:190-191)
3. Bicara Benar.
Selalu berkata benar merupakan salah satu faktor yang harus dimiliki oleh seorang
yang memiliki integritas. Seperti ungkapan: "Seorang yang memiliki iman
itu dipegang omongannya". Maksudnya, Omongan seorang yang beriman itu
harus dapat dipercaya karena taruhannya iman. Iman yang benar pasti akan
melahirkan perkataan yang benar. Maka jika seseorang suka berbicara dusta dapat
dipastikan imannya pun rusak. Bicara benar berarti satunya kata dengan
perbuatan. Apa yang diucapkan akan selaras dengan apa yang dilakukan. Tuhan
berfirman;
"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah
kamu selalu berkata benar" (QS Al Ahzab/33;70) .
Ayat ini selalu dikutip Rasulullah SAW saat beliau menyampaikan khutbah nikah.
Pernikahan adalah awal seseorang memasuki kehidupan sejati orang dewasa. Karena
itu pasangan suami istri harus memulainya dengan selalu berbicara benar. Dengan
begitu komunikasi akan terjalin dengan baik dan rasa saling percaya akan
terajut dengan kuat. Kelangsungan hidup betapapun mestilah dibangun atas dasar
suatu kebenaran dan jangan dikotori dengan kebohongan.
Kehidupan suami istri yang notabene merupakan transaksi hanya antara dua individu yang berbeda
saja harus dibangun dengan kebenaran, apalagi dunia kerja dan bisnis yang
merupakan suatu bentuk transaksi besar yang melibatkan begitu banyak pihak
dengan kepentingan yang berbeda-beda. Keharusan selalu berbicara benar itu akan
sangat berpengaruh dalam kesuksesan berinteraksi dengan orang lain. Ucapan yang
benar akan melahirkan kepercayaan, dan kepercayaan akan menghasilkan bisnis.
Agama mengajarkan kita selalu bicara benar dan baik. Jika kita tidak dapat
berkata benar dan baik, lebih baik diam. Sebab berkata dusta bukan saja
menyakiti hati orang lain tapi juga menipu diri sendiri. Celakanya lagi, satu
kebohongan akan melahirkan berbagai kebohongan lain untuk menutupi kebohongan
sebelumnya. Begitu seterusnya. Karena itu jangan sekali-kali berdusta, karena
hal itu sama artinya membuka jalan untuk jadi pendusta. Sedangkan kebohongan
dan dusta akan merusak dan menghancurkan Integritas diri.
Rasulullah SAW bersabda ;
"Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat hendaklah ia berkata
benar dan baik atau diamlah" (HR Bukhari-Muslim).
4. Sikap dan Perilaku Terpuji
Kita tidak bisa menilai hati dan pikiran seseorang, sebab keduanya berada dalam
wilayah yang abstrak. "Dalamnya laut bisa diselami, dalamnya hati siapa
tahu", begitu bunyi sebuah syair. Demikian pula halnya dengan apa yang
berkecamuk dalam otak seseorang, hanya ia sendiri dan Tuhan yang tahu. Kita
hanya bisa menilai apa yang nampak dan kelihatan. Karenanya selain dari
ucapannya integritas seseorang dapat dinilai dari sikap dan tindakannya. Jika
caranya bersikap dan bertindak sesuai dengan yang dikatakannya, berarti orang
tersebut memiliki integritas yang tinggi. Dengan kata lain, orang yang memiliki
integritas pasti mempunyai sikap yang terpuji dan perilaku yang dapat
diteladani. Dalam bahasa agama disebut akhlakul
karimah (akhlak yang mulia).
Karakter seperti itulah yang dimiliki oleh Rasulullah SAW sebagaimana
ditegaskan dalam firman Allah SWT:
"Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti agung"
(QS Al Qalam/68:4).
Firman Tuhan di atas bermakna ganda. Pertama, sebagai pujian atas keagungan
akhlak beliau. Kedua, sebagai penjelasan kenapa beliau yang diangkat sebagai
Rasul, bukan banyak laki-laki lain dimasa itu. Risalah Tauhid yang harus
diemban Rasulullah adalah amanat yang teramat besar, sehingga memerlukan orang
dengan karakter dan sifat-sifat mulia pula. Jika tidak, tentu misi tersebut
tidak akan dapat ditunaikan dengan baik. Karenanya, para rasul itu haruslah
orang-orang terpilih diantara orang-orang pilihan (Al mustofa al akhyar).
Sejarah mencatat kemuliaan akhlak Rasulullah SAW itu sudah nampak sejak kecil,
jauh sebelum beliau diangkat menjadi Rasul. Orang-orang Arab Quraisy memberinya
gelar Al-Amin (orang yang terpercaya). Kemuliaan akhlak ini pula yang menjadi
kunci sukses beliau saat berniaga ke Syam (Sekarang Damaskus) bersama pamannya
Abu Thalib, maupun ketika membawa barang dagangan milik Siti Khadijah. Begitu
legendarisnya keluhuran akhlak beliau, sehingga belau menjadi standar harga di
sana. Para pedagang belum akan menetapkan harga gandum (baik basah atau kering)
sebelum beliau datang. Dan ketika beliau menetapkan harga, semua pedagang
mengikutinya. Tak heran jika para saudagar Quraisy berebut memintanya membawa
dagangan mereka ke Syam, sebab kafilah dagang yang dipimpin beliau selalu
sukses dan membawa keuntungan yang besar. Tapi beliau lebih suka membawa
dagangan pamannya atau membawa dagangan Siti Khadijah, seorang Saudagar wanita
yang terkenal jujur, santun, dermawan dan berakhlak mulia, yang dikemudian hari
menjadi istri beliau.
Kemuliaan akhlak adalah kata kunci kesuksesan Rasulullah SAW. Maka tak heran
jika ia menjadi salah satu misi utama dakwah beliau, seperti sabdanya;
"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia".
Bahkan sedemikian pentingnya arti sikap terpuji dan akhlak yang mulia itu,
sehingga beliau bersabda; "Sesempurna-sempurnanya iman seorang mukmin
adalah yang paling mulia akhlaknya" (H.R Tirmidzi).
Kesuksesan Nabi SAW cukup menjadi bukti betapa akhlak mulia (di dalamnya ada
sikap terpuji) adalah sesuatu yang harus dimiliki oleh siapapun yang ingin
sukses dalam hidup. Termasuk dalam bekerja dan berbisnis. Dengan akhlak yang
mulia kepercayaan akan terbangun, ketenangan akan tumbuh. Pada gilirannya,
relasi akan semakin bertambah dan interaksi semakin terjalin. Buahnya bisnispun
akan semakin menguntungkan.
5. Keteladanan.
Realitas sosial menunjukkan, contoh nyata merupakan cara paling efektif
membentuk masyarakat. Baik itu yang baik maupun yang buruk.
Berbagai perilaku menyimpang yang melanda masyarakat kita hari ini tak dapat
dipisahkan dari teladan buruk yang dicontohkan para pemimpin dan publik figur.
Merajalelanya korupsi dan kolusi ditengah masyarakat sebenarnya sekadar
mencontoh dan mengikuti apa yang dilakukan para pejabat dan pemimpin. Meluasnya
perilaku amoral dan asusila di tengah masyarakat kita sesungguhnya buah dari
perilaku buruk yang dicontohkan para elite dan selebritis.
Sebaliknya, teladan yang baik telah diperlihatkan Rasulullah SAW dalam
kehidupannya. Beliau tidak pernah jemu mengajak manusia ke jalan Allah,
kapanpun dan dimanapun. Nyaris seluruh waktu hidupnya dihabiskan untuk menyeru
manusia ke jalan yang benar. Namun yang jauh lebih hebat lagi adalah
keteladanan yang dicontohkannya. Beliau melakukan lebih dulu suatu kebajikan,
sebelum mengajarkannya kepada orang lain. Jika para jenderal umumnya menjadi
orang yang paling terakhir maju ke medan perang dan yang paling awal
diselamatkan, beliau sebaliknya, Nabi SAW selalu berada di barisan terdepan
para mujahidin dan paling belakangan mundur, jika strategi perang mengharuskan mundur
selangkah. Beliau bukan hanya teladan dalam perang atau kepemimpinan tapi juga
teladan terbaik dalam seluruh aspek kehidupan.
Keteladanan Rasulullah SAW yang luar biasa itu adalah pesona utama dakwah
beliau. Manusia begitu tertarik dengan ajaran yang dibawanya, dan menjadi lebih
tertarik lagi setelah melihat keteladanan beliau. Nabi SAW bukan sekedar
mengajarkan, tapi memberi contoh. Keteladanan itu pula yang membuat para
sahabat dan kaum muslimin bersikap "Sami'na Wa atho'na" terhadap
apapun yang diajarkannya. Begitu luar biasanya keteladanan beliau contohkan
sehingga Allah SWT mengabadikannya dalam Al Qur'an :
"Sungguh telah ada dalam diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu,
(yaitu) orang yang mengharap (rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan
banyak menyebut nama Allah" (QS Al Ahzab/33:21.
Begitulah keteladanan itu bagaikan magnet yang menarik orang di sekeliling
kita. Semakin tinggi dan berpengaruh seseorang, semakin kuat magnet yang
dimilikinya. Jika ia berperilaku baik, maka ia telah menarik orang berbuat
baik. Tapi jika ia berperilaku buruk, sama artinya ia telah menyuruh orang
banyak berperilaku buruk. Rasulullah SAW menyatakan:
"Barang siapa menunjukkan jalan kebaikan, maka baginya pahala seperti
pahala pelaku kebaikan tersebut" (HR. Muslim)
Dan begitulah seharusnya yang dilakukan oleh pemimpin. Pemimpin harus mau dan
mampu menjadi contoh, memberikan keteladan. Banyak hal yang tidak bisa
dipecahkan dengan perkataan, tapi bisa segera teratasi dengan keteladanan.
Seorang pemimpin akan mengambil tanggung jawab terbesar dan bersedia menanggung
resiko terbanyak. Seorang pemimpin akan berusaha menjadi panutan sekaligus juga
pengayom.
Dan bukankah setiap kita adalah pemimpin, setidaknya pemimpin bagi diri kita
sendiri.

Bondan Seno
Prasetyadi
PT. Bahana Artha Globalindo
081212958958, 081513958958, 08111195958
sumber : dari berbagai sumber