Wanington DC,
February 17th 2013 09.00 am waktu setempat. Kota besar itu telah
terjaga dari lelapnya angin malam. matahari telah menyapa diatas gedung –
gedung penacakr langit dari negeri Paman Sam yang tak akan kelam diterjang
malam. suara klakson mobil – mobil mewah, konglomerat berdasi, para pejalan
kaki, daerah – daerah edukasi dan industri telah bangkit dari peraduan untuk
mewarnai warni – warni pelangi kota ini.
Sinar
matahari kian meninggi. butiran – butiran debu berkeliaran diantara AC-AC kota
sekutu ini. meninggalkn setetes peluh di kening setiap jejak langkah insan
ibukota, tertatih jalan seorang wajah mungil yang menelusuri jalanan kecil di
sisi jalan perkotaan yang menggerus senyuman manis sebagai jalan yang tragis.
wajah kecil ini, tak mengingatkan bahwa ia titipan ilahi sebagai anak
Washington DC. Ia tak mancung seperti bule – bule yang ada di televisi, kulit
tubuhnya pun hanya sekedar sawo matang, tingginya pun standar – standar saja.
tak lain lagi kalau itu adalah anak tanah air. Entah apa tujuannya menapakkan
kedua kakinya di atas bumu Washington DC.
- Bukan
untuk membuat boneka diantara kristal – kristal es yang saling mengadu di musim
salju.
- Bukan
untuk mencari symponi angin hangat diantara dedauanan alami di musim semi.
- Bukan
untuk menyapa sang mentari di tepian pantai di musim panas.
- Bukan
unutk memejamkan mata menikmati perjalanan yang bertabur di musim gugur.
Bukan itu
duhai kawan, bukan itu kemauan di balik senyum tipis wajah mungil itu.”aku anak
papa mama, dimanakah mereka menginjakkan kedua mereka, pasti kalian akan lihat
tapak kaki kecil di sela – selanya. Itulah tapakku, aku harus bersama mereka
dimanapun mereka. kepada siapa mengadu jika aku sedang sedih... keapada
siapa aku menangis jika kakiku lecet.. Siapa yang akan mengajariku bersolek
jika aku ingin tampil seperti ratu sejagad semalam ?”. itulah serangkain kata
yang keluar dari mulut mungil anak. sederhana memang, namun itulah insan kecil
Tuhan. alasan wajib bagi sebayanya. Entah aakah setiap anak dikodratkan begitu
??
Di rumah itu,
rumah yang tengah kukuh berdiri di tengah kota termahsyur itu, didekat balkon
rumah, suara itu selalu terdengar. Begitu sering. kadang mengeluarkan alunan
symponi yang sangat cocok di hati,, namun terkadang juga bebuah nada yang
begitu kuat, nada itu seperti bernyawa, entah pesan apa yang ingin ia
sampaikan, nada itu keluar dari sebuah dawai yang dimainkan dengan penuh emosi
dan ekspresi di dalamnya. ya, itulah musiknya. Sebuah permainan biola rupanya.
senar – senar biola itu, saling menyatu mengeluarkan nada – nada yang
melengking. memberi sapaan kepada padat penat kota besar itu. jari – jari
mungil menari – nari diatas senar biola yang tergesek. jemari itu menari dengan
begitu gemulai bak penari pendet ananda pulau dewata. Siapa yang terka, siapa
yang menduga, siapa yamg mengira. gadis kecil yang senantiasa menapakkan kedua
kakinya diatas jalan sentral paman sam itulah, yang lihai meliuk – liukkan
jemarinya diatas dawai senar biola itu. keluarganya tahu tentang symponi dan
musik, tapi tak satupun dari mereka yang pernah memainkan tangan – tangan
kreatif mereka diatas symponi instrumentalis yang mengais sejuta makna
kehidupan di setiap alunan nadanya. insan kecil itu serasa menemukan kawan
terbaik diantara rerumunan insan –insan kecil yang setiap pagi mengendarai
mobil - mobil mewah pribadi dengan sopir pribadi mereka.menuju sekolah
yang katanya sekoalh internasional. tapi tidak untuk gadis kecil ini. kawan
apapun dapat. saling mengisi dan melengkapi, tertawa saat suka menangis saat
duka, selalu terbuka, berusaha menyimpan rahasia diantara keduanya.. dan
baginya, biola itulah kawan sejatinya. sesuai namanya, tak ironi jika jemarinya
pandai berkarya diatas senar biola. viola. ya, viola...itulah nama gadis kecl
itu, kerananya kerap sapa tetangga kepadanya”violin viola”. sebuah nama yang
serasi baginya dan biolanya.
Hiruk pikuk,
bising yang membikin pusing, kacau masih berpasangan dengan balau, derai debu
dan lalu lalangkehidupan menorehkan sebuah suratan kehidupan yang berwarna. ada
lembah ada bukit. ada samudera ada benua, ada jurang dan ada pegunungan.
kehidupan tak akan datar layaknya aliran laut mati. roda masih berputar, jalan
masih panjang, ada gunung yang harus didaki, ada samudera yang hars diseberangi,
dan ada lembah yang harus dituruni. viola, kutakan dirimu... siapapun tahu kau
masih belia, namun tak ada yang bisa untuk mengelak suratan tuhan.tunjukkan
jika kamu layak untuk bahagia.
Kisah viola
bermula saat kedua kakinya pertama kali bertapak di paman sam.sebuah kehidupan
yang bertolak belakang dengan kampung halaman. disini, ia mulai mebuka lembaran
halaman kehiduapan. lembaran – lembaran yang ia gores dengan tinta peluh dan
air mata. dan itulah buku yang sejati. buku kehidupan violin viola.
Sekolah
baru, tentulah hal itu. ia haarus mampu menerima lingkungan yang mengais tragis
setiap canda dan tawa. kawan baru dari anak insan – insan penguasa Amerika ?
ibarat pa ia disana ? anak desa yang berharap dapat hidup bahagia dengan
kondisi 1800. sorang zero yang ingin menyapa hero yang arogan ? apa
nanti balasan si hero ? maukah si hero melirikkan mata sekedar melihat sapaan
si zero ? yang ada hanya pukulan maut yang menghantam setiap seyum sapa zero
yang tak ada artinya walaupun hanya sekuku hitam. viola masih sabar. Ia hanay
insan kecil yang hati dan perasaannya belum peka satu hal yang perlahn – lahan
mengeruk senyum dan keikhlasan. ia masih mampu menahan air mata yang akan jatuh
di kedua pipi tembemnya.
Ia tahu TUHAN
sealu terjaga untuknya. TUHAN tahu apa yang ia mau.ia hanya ingin, ia dan
biolanya melukiskan sebuah sejarah baru kota itu. Biola adalah sebuah symponi
keindahan yang setiap orang harus tahu. ia dan biolanya harus tetap
berkarya.kata pedas dan pahit mungkin terus mendera, tapi semangat hidup ini
siapa yang terka. hal yang luar biasa dapat terukir dalam lembaran hidup.
Classical
music contest. sebuah sajian kompetisi musik klasik yang ditujukan semua kaum.
viola harus ada... semangat dari seorang insan kecil tak akan terhenti. silakan
lewat depan rumahnya. alunan biola senantiasa memecah keheningan. senar – senar
biola tak jenuh untuk mengeluarkan nada – nada yang begitu memikata raga.
setiap waktu, dan selalu. biola sebagai kawan dalam berkarya dan membuka
cakrawala dunia. kesempatan itu... ia gunakan untuk berteriak lantang kepada
dunia”the world... i can”. tepukan tangan demi tepuakn tangan silih
berganti beradu memberi salut dan apresiasi kepada para pemusik panggung
kompetisi. Akankah insan kecil itu masih mendapat sisa tepuk tangan itu ?dengan
sebuah biola di tangan nya, ia menapakkan kedua kaki nya diatas panggung mewah
itu. ia lemparkan sebuah senyuman tipis kepada seadanya insan malam itu. ia
mulai memberikan alunan symponi dalam senar biola. ia pejamkan kedua mata
indahnya itu. ia mulai menggesek senar – senar biola nya.
Salam SmartLife
Aliyah Almas Sa'adah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar