Sampai dengan awal tahun 2006 lalu, semakin banyak perusahaan memfokuskan untuk mengembangkan outlet(gerai) sendiri. Maklum, perusahaan semakin menyadari akan pentingnya fungsi gerai ini. Dengan pengembangan outlet tersebut, mereka berharap dapat mendongkrak penjualan karena pelanggan lebih mudah untuk memperoleh produk atau layanan.
Selain itu, pengembangan outlet dari para produsen ini sekaligus untuk mengimbangi kekuatan dari para ritel yang seringkali ingin mendikte pemilik merek. Para ritel ingin menunjukkan bahwa mereka lebih berkuasa karena memiliki pelanggan. Jadi, sebagai reaksi terhadap fenomena ini, maka para pemilik merek atau produsen, kemudian membuka outlet sendiri. Lihat saja, perusahaan telekomunikasi, elektronik, sepatu atau bahkan sampai toko roti berlomba-lomba untuk mengembangkan jumlah outlet mereka.
Yang menarik, setelah gerainya berjumlah cukup banyak, perusahaan kemudian menyadari bahwa outletbukanlah hanya sebagai tempat untuk menjual. Outlet adalah bagian dari branding dan sekaligus tempat di mana pelanggan dapat mengalami pengalaman berinteraksi. Outlet menjadi manifestasi dari suatucustomer experience strategy.
GraPari dan gerai Halo Telkomsel adalah contoh perusahaan telekomunikasi yang ingin melakukan upayabranding dan sekaligus meningkatkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan. Inilah juga menjadi titik pertemuan antara branding dan customer experience. Brand yang kuat, justru akan membuat pengalaman pelanggan terhadap perusahaan menjadi semakin kuat. Survei menunjukkan bahwaawareness Telkomsel juga terdongkrak karena banyak outlet yang mereka miliki.
Brand Experience
Pakar experiential marketing, Bernd Schmitt, dalam bukunya Customer Experience Managementmenyatakan bahwa titik-titik persentuhan pelanggan atau konsumen dengan merek adalah bagian dari strategi implementasi yang penting bagi perusahaan yang ingin menciptakan kepuasan pelanggan dan loyalitas yang tinggi. Menurut dia, pelanggan berinteraksi dengan perusahaan bisa dengan berbagai elemen, yang meliputi elemen statis atau dinamis.
Yang dimaksud dengan elemen statis adalah bahwa perusahaan membuat berbagai elemen terlebih dahulu dan kemudian melakukan perencanaan bagaimana elemen tersebut terkomunikasikan kepada pelanggan atau konsumen. Sedang elemen dinamis adalah elemen yang berinteraksi secara langsung pada waktu yang bersamaan dengan waktu pelanggan mengkonsumsi produk atau mendapatkan pelayanan. Dan disebut dinamis karena seringkali bersifat personal dan customized.
Yang sering dinamakan elemen statis adalah produk itu sendiri, logo, kemasan, brosur atau iklan. Jadi, pelanggan dalam hal ini tidak perlu berhadapan langsung dengan perusahaan dan pada umumnya elemen ini tidak bersifat customized. Artinya, ribuan atau bahkan jutaan pelanggan, akan terekspos oleh hal yang sama dan sifatnya sangat bisa direncanakan.
Produk, walau elemen statis, adalah bagian dari brand experience yang kadang-kadang “powerful”. Sebagai pengguna handphone, Anda tentunya familiar dengan fitur yang disebut dengan infrared. Ini merupakan salah satu fitur yang menarik bagi pelaku bisnis. Dengan fasilitas ini, kalau Anda lupa membawa kartu nama, maka tinggal mengirim business card Anda yang ada di alamat ponsel dengan menggunakan bantuan infrared. Harus diakui, di Indonesia memang belum banyak yang terbiasa. Tetapi paling tidak, adanya fasilitas ini, merupakan salah satu fitur yang membuat pengguna handphone merasa nyaman. Mereka yang pernah menggunakan, merasakan menjadi suatu pengalaman yang lain dibandingkan dengan Anda memberikan kartu nama.
Look dan feel yang mengelilingi produk, juga merupakan bagian brand experience yang mampu menciptakan pengalaman positif bagi pelanggan. Salah satu bagian yang menarik dari toko roti BreadTalk adalah nama-nama rotinya. Anda disuguhi dengan nama-nama roti yang tidak konvensional. Mereka yang membaca dan memperhatikan nama-nama roti yang sengaja dibuat aneh, memiliki kesan yang berbeda. Walau rotinya, banyak yang sama dengan roti-roti di tempat lain. Daripada menyebut roti abon, maka disebutkan dengan nama Fire Flosh. Suatu saat, bukan roti susu tetapi diubah menjadi Milky Way.
Bagi ritel atau outlet, maka desain interior adalah bagian dari brand experience yang kritikal. Kalau Anda ingat Starbucks, terlintaslah warna hijau dan bentuk desain dari kursi dan lain-lainnya.
Bagaimana perusahaan dapat menciptakan suatu brand experience melalui elemen-elemen statis ini? Schmitt menganjurkan agar menggunakan suatu riset yang diset dengan Stripping dan Dressing. Pada prinsipnya, merupakan suatu proses riset, yang dimulai dengan cara membuat peringkat terlebih dahulu untuk semua elemen dan atribut. Kemudian, mulai dengan menghilangkan bagian yang tidak penting. Elemen atau atribut yang dilepas, kemudian dilihat apakah menimbulkan dampak negatif yang besar. Suatu elemen atau atribut yang kuat, saat dicopot, akan memberikan kesan dan perasaan yang berbeda. Untuk melihat perbedaan ini, tentu saja bisa dengan menggunakan suatu survei.
Selain elemen yang bersifat statis, maka elemen yang bersifat dinamis, tidak kalah pentingnya. Terutama untuk segmen kelas atas, elemen dinamis inilah yang akan meningkatkan kualitas pengalaman. Karena melibatkan interaksi antara pelanggan dan penyedia jasa—baik orang ataupun mesin, maka kemampuannya untuk membuat pengalaman yang bersifat customized, relatif tinggi.
Hotel-hotel berbintang lima di Nusa Dua Bali, relatif lebih maju dibandingkan dengan hotel berbintang lima di Jakarta. Paling tidak, dalam hal menyambut tamu. Tamu akan disambut ramah dengan pukulan gong atau kalungan untaian bunga. Pada saat check-in, tamu dipersilakan untuk duduk saja di sofa sambil disodori pilihan welcome drink. Ini jelas merupakan suatu pengalaman dinamis yang menciptakan kepuasan pelanggan yang tinggi.
Salah satu faktor yang penting dalam elemen yang dinamis ini adalah fleksibilitas. Jadi, bukan saja bagaimana seorang front-liner memberikan pelayanan yang baik, tetapi sejauh mana fleksibilitas dapat diberikan. Ini seringkali terjadi untuk pelanggan-pelanggan kelas premium. Mereka umumnya tidak suka diperlakukan sebagai pelanggan biasa. Mereka tidak mau mengantri di antrian regular. Mereka tidak mau dilayani dengan waktu yang standar. Jadi, bagi mereka, diberlakukan perkecualian-perkecualian. Bagi perusahaan, memiliki karyawan yang memiliki tingkat empowerment yang tinggi, menjadi suatu keharusan.
Implementasi dari suatu customer experience strategy, hanya akan langgeng bila perusahaan terus-menerus melakukan inovasi. Pelanggan berubah, demikian jugalah dengan kualitas pengalaman yang diharapkan. Amazon adalah raksasa di internet yang sangat mengerti akan pentingnya inovasi. Dari bulan ke bulan, ada saja inovasi kecil yang dilakukan. Ini yang membuat mereka yang senang membeli buku melalui internet menjadi betah. Lihat saja inovasi yang dilakukan oleh Nokia dan Sony Ericsson. Selalu saja, ada fitur yang baru, ada sesuatu yang baru. Ini akan memberikan pengalaman menggunakanhandphone yang berbeda.
Inovasi untuk ring tone, sungguh spektakuler. Ini merupakan fitur yang tiba-tiba sukses. Mungkin hampir sama seperti ketika para operator melihat betapa suksesnya SMS. Yang membuat fitur ring tone ini terus bergerak, karena ada sesuatu yang baru. Bisa lagu-lagu yang baru atau cara down load yang baru. Ini akhirnya menimbulkan suatu pengalaman yang baru, menggantikan pengalaman lama yang dianggap sudah membosankan.
Lebih dari 50% yang sudah memformulasikan customer experience strategy, ternyata kemudian gagal dalam implementasi. Selain karena komitmen yang memang tidak memadai, hal ini juga disebabkan karena tidak efektifnya pelaku bisnis dalam memformulasikan strategi implementasi.
Mereka tahu benar, pengalaman pelanggan apakah yang harus difokuskan. Demikian pula, platform strategy termasuk strategi positioning yang didasarkan atas pengalaman juga telah diformulasikan, tetapi ternyata masih tidak cukup untuk membuat semuanya terimplementasi. Ini terjadi, karena memang tidak melakukan tiga hal seperti yang saya uraikan di atas. Pertama, tidak menciptakan suatu brand experienceyang benar. Kedua, tidak menciptakan interaksi yang benar dengan pelanggan. Ketiga, tidak adanya kemauan untuk melakukan inovasi yang terus menerus mengenai pengalaman pelanggan.
Sumber : Marketing.co.id
Joko Ristono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar