100 Persen CRM
Thursday, 14 April 2011
Tulisan
ini merupakan rangkuman dari seminar Frontier Marketing Club bulan yang lalu.
Dalam seminar tersebut, saya ingin memberikan jawaban atas dua pertanyaan
besar, pertama : kapan perusahaan harus mulai CRM? Kedua: Kapan perusahaan
berani menerapkan 100 persen strategi pertumbuhannya dengan CRM saja? Dua
hal ini ternyata memang menjadi pertanyaan dari sebagian perusahaan yang sadar
akan pentingnya menerapkan strategi CRM.
Sekadar
untuk mengingatkan Anda pembaca MARKETING, prinsipnya, hanya terdapat
tiga pilihan strategi bagi perusahaan untuk bertumbuh.
- Pertama, perusahaan harus mencari
pelanggan baru untuk bertumbuh. Apalagi, untuk perusahaan baru atau
perusahaan yang berada di dalam industri yang masuk dalam fase pertumbuhan,
kesempatan untuk bertumbuh melalui pelanggan baru sungguh besar. Perusahaan
tidak boleh kehilangan kesempatan untuk mencari pelanggan baru pada situasi
seperti ini. Keterlambatan untuk mencari pelanggan baru akan menjadi biaya
mahal di kemudian hari. Ini bisa dilihat dari beberapa operator seluler yang
baru masuk belakangan. Mereka harus membayar mahal untuk akuisisi pelanggan
baru.
- Kedua, perusahaan kemudian mulai melakukan
retensi terhadap pelanggannya. Mereka diharapkan membeli produk atau
menggunakan pelayanan kembali. Akan lebih baik bila mereka menjadi pelanggan
yang lebih aktif. Artinya, mereka akan membeli produk tersebut lebih banyak
lagi. Mereka diharapkan untuk menyebarkan word of mouth yang positif dan
mereferensikan produk atau layanan yang mereka gunakan kepada prospek yang
lain.
- Pilihan ketiga adalah dengan menggunakan add-on
selling, termasuk dalam hal ini adalah cross-selling.
Kita bisa menjual produk B, C, dan seterusnya kepada pelanggan yang sudah sudah
membeli produk A. Kita bisa menawarkan fitur baru kepada pelanggan kita. Tidak
mengherankan, dalam konteks ini, perusahaan harus inovatif. Mereka perlu
menciptakan fitur baru atau menciptakan produk dan layanan baru agar tidak
kehilangan kesempatan untuk bertumbuh.
Dalam
konteks ketiga strategi tersebut,
perusahaan yang menerapkan CRM akan bertumpu pada strategi kedua dan ketiga.
Mereka memilih untuk mengandalkan pertumbuhan dari pelanggan yang sudah ada.
Jadi, perusahaan yang mengandalkan 100 persen strategi CRM tetap konsisten
dengan strategi pertumbuhan pilihan kedua dan ketiga. Pertumbuhan dari
pelanggan baru hanya bertumpu pada word of mouth dan referral dari
para pelanggannya.
Dengan
pengertian seperti ini, perusahaan sebenarnya dapat menerapkan strategi CRM,
mulai dari 0–100 persen. Perusahaan benar-benar dikatakan tidak memiliki
strategi CRM saat seluruh sumber daya manusia dan upaya difokuskan untuk
mencari pelanggan baru, atau pilihan strategi yang pertama. Biasanya, saat
pertumbuhan melalui strategi CRM sudah mencapai 50 persen, perusahaan sudah
mulai memikirkan struktur organisasi yang memang menunjukkan arah strategi ini.
Mereka mungkin memiliki manajer, GM, atau bahkan seorang direksi yang fokus
kepada CRM. Mereka biasa disebut CRM manager, retention manager, account
manager, atau relationship manager. Jabatan ini bisa ditingkatkan ke
tingkat direksi bila CRM sudah dominan.
Tidak
pelak lagi, dalam 10 tahun terakhir ini, kecepatan perusahaan-perusahaan di
Indonesia untuk mengadopsi strategi CRM sangat cepat. Perusahaan kemudian
membuat perubahan strategi pertumbuhan dan semakin fokus pada pelanggan yang
sudah ada. Industri perbankan misalnya, lebih dari 50 persen sumber daya dan
alokasi resources lainnya ditujukan kepada pelanggan yang sudah ada
dalam database mereka.
Bila
strategi CRM masih di bawah 50 persen, perusahaan lebih memilih untuk
meningkatkan kualitas produk dan layanan terlebih dahulu. Demikian juga,
mereka bisa terus memulai dengan memperbaiki database yang sudah ada.
Bila suatu saat CRM sudah dominan, mereka sudah memiliki kemampuan dan berada
pada posisi yang siap untuk mengimplementasikannya. Jadi, intinya, persiapan CRM terutama
pengembangan database, telah dapat dimulai saat perusahaan sudah
mempunyai pelanggan.
Kapan 100 Persen CRM?
Lalu,
untuk pertanyaan kedua, kapan perusahaan benar-benar berani memilih CRM sebagai
100 persen strategi pertumbuhan—atau paling tidak—CRM sebagai strategi yang
sangat dominan untuk memacu pertumbuhan perusahaan? Ada tiga kriteria besar
untuk memberikan jawaban ini.
Pertama, perusahaan harus menjadikan CRM sebagai strategi yang
dominan saat biaya untuk mencari pelanggan baru sudah sama, atau lebih besar
dari nilai pelanggan baru yang diakuisisi. Ini jawaban yang bersifat
kuantitatif dan perusahaan sudah benar-benar harus melakukan perhitungan. Untuk
biaya akuisisi, relatif mudah. Yang dapat Anda lakukan adalah menjumlahkan
semua bujet yang difokuskan untuk mencari pelanggan baru. Semua biaya promosi
atau tenaga penjualan yang difokuskan untuk mencari pelanggan baru, dapat
dijumlahkan. Misalnya, perusahaan dapat menjumlah semua biaya ini mulai dari
Januari hingga bulan Desember, atau selama satu tahun. Setelah itu, dihitung
berapa jumlah pelanggan yang diperoleh selama kurun waktu tersebut. Jumlah
biaya dibagi dengan jumlah pelanggan yang diperoleh, adalah biaya akuisisi per
pelanggan.
Bagaimana
menghitung nilai pelanggan baru? Salah satu rumus yang sederhana adalah dengan
menggunakan customer lifetime value (CLV). Pada tahun yang lalu, saya
pernah berbagi, di kolom yang sama, bagaimana menghitung CLV dari nilai
pelanggan baru. Salah satu formula sederhananya adalah :
CLV
= m (r / 1 + i – r)
m : adalah net margin per pelanggan untuk periode
tertentu,
i : adalah discounting rate untuk memperoleh present
value.
CLV pada dasarnya adalah nilai pelanggan
hari ini, sedangkan margin yang diperoleh oleh perusahaan adalah di masa
mendatang. Jadi, diperlukan i untuk membuat perhitungan present value
R : adalah retention
rate, yaitu, berapa persen pelanggan yang dapat diretensi selama periode
tertentu.
Misalkan
saja, perusahaan Anda memiliki 100 ribu pelanggan di awal bulan Januari 2010.
Kemudian, pada akhir Desember, dari 100 ribu pelanggan ini, ternyata 90 ribu
yang bertahan. Artinya, nilai r atau retention rate adalah 90 persen.
Asumsikan, dari perhitungan yang Anda lakukan, net margin yang diperoleh
selama satu tahun untuk per pelanggan adalah Rp 100 ribu. Ini adalah semua revenue
per pelanggan dikurangi semua biaya per pelanggan. Nilai i atau besarnya discouting
rate, dapat dipilih antara bunga deposito atau bunga pinjaman komersial.
Asumsikan saja, nilai i adalah 10 persen.
Dengan
nilai-nilai di atas, maka CLV adalah = Rp 100.000 (0.9 / 1 + 0.1 – 0.9) atau Rp
450.000. Nah, kemudian bandingkan dengan biaya akuisisi. Bila biaya
akuisisi ternyata sudah lebih besar dari Rp 450.000, ini merupakan sinyal yang
kuat bahwa perusahaan Anda akan lebih baik untuk meningkatkan strategi CRM.
Persentase strategi CRM yang dipilih tergantung dari perhitungan-perhitungan
selanjutnya.
Misalnya,
perusahaan sudah mulai menggunakan strategi CRM 80 persen dan akuisisi
pelanggan baru 20 persen. Dalam hal ini, perusahaan sudah mulai selektif
mencari pelanggan baru. Biasanya, CLV akan naik dan biaya akuisisi akan turun
karena sudah mulai selektif memilih pelanggan baru. Bila ternyata perhitungan
masih menunjukkan biaya akuisisi tetap lebih besar, maka sangat bijak kalau
strategi CRM semakin dominan lagi. Mudah-mudahan, logika sederhana ini membantu
perusahaan Anda untuk merumuskan kesimpulan strategi ini.
Kriteria
kedua adalah bila biaya akuisisi lebih tinggi dari kesempatan untuk add-on
selling, maka strategi CRM perlu ditingkatkan intensitasnya. Hampir sama
dengan kriteria pertama, kita perlu menghitung biaya akuisisi. Yang kedua, kita
menghitung berapa pertumbuhan keuntungan yang dapat diperoleh bila perusahaan
melakukan add-on selling. Bila dihubungkan dengan CLV, berarti Anda
harus menghitung berapa penambahan CLV sebagai akibat dari keberhasilan add-on
atau cross-selling. Bila ternyata lebih besar dari biaya akuisisi, maka
tampaknya pilihan untuk memperbesar intensitas CRM akan menjadi pilihan
yang lebih efektif.
Pengalaman
saya sebagai konsultan dalam bidang CRM, kriteria kedua ini sering banyak tidak
serius diperhatikan. Padahal, perusahaan memiliki kesempatan untuk melakukan add-on
selling yang besar, tetapi kemudian tidak berhasil dilakukan karena energi
dan fokusnya adalah untuk mencari pelanggan baru.
Kriteria
ketiga berhubungan dengan tingkat kesiapan melakukan CRM. Dan inilah situasi
yang sering dihadapi oleh perusahaan. Strategi CRM seharusnya sudah dominan.
Misalnya, mencapai 80 persen, tetapi perusahaan kemudian menggeser CRM menjadi
50 persen dan sisanya tetap bertumpu pada tim penjualan untuk mencari pelanggan
baru. Ini terjadi karena perusahaan tidak siap dengan sumber daya manusia,
proses interaksi, dan teknologinya. Perusahaan ini terlambat mempersiapkan CRM.
Apalagi, bila customer database masih sangat tidak siap, maka CRM
menjadi mundur atau harus ditunda. Memang, tidak ada pilihan selain menunda
intensitas CRM dalam kondisi ini. Maka sangat bijak, pada saat perusahaan masih fokus ke
pelanggan baru, persiapan CRM, seperti pengembangan customer database
dan segmentasi pelanggan, haruslah sudah dimulai. CRM, karena merupakan
strategi, selalu membutuhkan perspektif jangka panjang supaya berhasil dalam
implementasinya.
terima kasih atas artikelnya, kebetulan di lembaga saya (rumah zakat/RZ) sedang mencoba untuk menerapkan sistem ini walaupun kami masih meraba-raba dalam implementasinya, alhamdulillah dengan artikel ini sedikit banyaknya ada gambaran walaupun belum tergambar secara utuh, barangkali kita bisa diskusi langsung, sehingga kami mendapatkan gambaran yg lebih jelas lagi untuk implementasi sistem CRM. terima kasih
BalasHapusTerimakasih. di Blog saya banyak artikel tentang CRM, semoga bisa membantu.
HapusSaat ini saya sedang mengembangkan CRM for UKM, karena kami melihat UKM faktanya mampu menopang perekonomian Indonesia dan terbukti Handal. Namun begitu banyak UKM yang belum memiliki strategy menjalin hubungan dengan pelanggan.
Bila diperlukan, kita bisa diskusi untuk CRM seperti apa yang tepat di perusahaan Bapak. Info lengkap hubung saya via email: ristono.joko@gmail.com