Pertanyaan pada judul di
atas tampak terkesan sinis. Namun itulah faktanya jika kita memperhatikan
layanan yang diberikan oleh kebanyakan perusahaan. Pelanggan bukannya memuji
layanan yang diberikan oleh perusahaan, sebaliknya mereka sering kali berkeluh-kesah
lantaran kecewa terhadap layanan yang didapat. Memang sudah banyak perusahaan
yang melayani pelanggannya dengan baik, namun masih lebih banyak perusahaan
yang belum melakukan secara sungguh-sungguh apa yang dinamakan customer
relationships atau membina hubungan dengan pelanggan. Bukan cuma di
Indonesia saja, di negara lain pun masih banyak perusahaan yang kurang
memperhatikan customer relationships.
Fakta bahwa masih banyak
perusahaan yang kurang memperhatikan customer relationships juga dikemukakan oleh
Strativity Group Inc, sebuah perusahaan riset dan konsultan global, melalui
hasil riset online terhadap 233 eksekutif dari Amerika Serikat, Eropa,
Asia dan Afrika. Temuan menarik dari riset ini adalah ternyata masih banyak
perusahaan yang gagal dalam menangkap peluang keuntungan dari kegiatan customer
relationships mereka. Karenanya mereka gagal dalam melakukan strategi
penanganan pelanggan secara efektif. Hasil riset yang dikemukakan pada Februari
lalu ini menunjukkan, kebanyakan responden (55%) setuju bahwa perusahaan mereka
tidak sungguh-sungguh komit dengan pelanggannya, tetapi lebih
memperlakukan pelanggan sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan hasil riset di atas, wajar saja bila banyak perusahaan—termasuk di Indonesia—yang gagal menjalankan customer relationship management (CRM). Dalam sebuah seminar baru-baru ini, Handi Irawan D, seorang pakar pemasaran dan kepuasan pelanggan, menjelaskan bahwa setidaknya ada 6 kesalahan terbesar dari perusahaan Indonesia dalam usahanya membangun CRM.
Pertama, perusahaan memandang CRM hanya sebagai sebuah proyek. Hal ini dikarenakan rendahnya komitmen dari Top Management, cuma mengikuti apa yang dilakukan oleh kompetitor dan tidak didukung oleh departemen lainnya.
Kesalahan kedua, perusahaan tidak sungguh-sungguh fokus pada strategi retensi dan cross-selling.
Ketiga, perusahaan kurang memiliki tenaga yang berkualitas dalam mengembangkan CRM.
Keempat, perusahaan salah dalam menyasar pelanggan.
Kelima, perusahaan tidak menawarkan produk yang benar.
Dan terakhir-keenam, perusahaan tidak terus-menerus melakukan analisis yang diperlukan untuk mempelajari perilaku pelanggan baru.
Lebih lanjut pemimpin
Frontier Consulting Group ini mengatakan bahwa CRM bukanlah program langsung
jadi, sebab hasil CRM baru bisa terlihat setelah 3-5 tahun
mendatang.
Karenanya, untuk menjalankan strategi dan program CRM tidak bisa langsung
sekaligus, namun dilakukan secara bertahap.
Tahap pertama adalah financial bond, yang merupakan tingkatan yang paling mudah dilakukan. CRM pada tahap ini berupa pemberian reward jika pelanggan membeli produk dalam jumlah banyak, melakukan bundling atau cross-selling, bisa juga menerapkan harga yang fair.
Tahap kedua, social bond, agak lebih sulit dari tahap pertama. CRM yang dilakukan pada tahap ini adalah membentuk komunitas pelanggan, seperti yang dilakukan oleh Astra dengan Astra World-nya, Suzuki dengan Klub Karimun-nya atau Bogasari dengan BMC (Bogasari Master Card). CRM lainnya dalam tingakatan ini adalah melakukan continuous relationship atau personal relationship.
Kemudian level ketiga, business bond. CRM yang masuk level ini di antaranya adalah melakukan customization, yakni menawarkan produk atau layanan berdasarkan permintaan pelanggan, melakukan innovation dan customer intimacy atau mendekatkan diri kepada pelanggan.
Level paling sulit adalah structural bond. Pada level ini terbentuk kemitraan antara perusahaan dengan pelanggannya yang benar-benar sudah menyatu. Mereka mengembangkan sistem informasi yang integrated di mana kedua belah pihak saling berbagi informasi. Selain itu, perusahaan membantu pelanggan dalam proses produksinya termasuk bantuan dalam pengadaan peralatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar